Social Icons

Friday 1 June 2012

Saudagar Aceh Yang Menyumbangkan Emas Tugu Monas


Legenda Pahit Rakyat dan Para Saudagar Aceh Aceh, seakan tak pernah henti menyusui Indonesia. Salah satu sumbangan yang tak kalah penting adalah. Tampilnya Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang menyumbangkan sekitar 35 kilogram emas murni untuk pembangunan Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Tugu Monas, kini menjadi ikon Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia. Lagi-lagi, Soekarno dengan kelihaian rethorikanya, membujuk Teuku Markam untuk ikut dan berperan serta dalam proyek prestise ini. Saat itu, setidaknya, Soekarno ingin menunjukkan kepada dunia, Indonesia mampu sejajar dengan bangsa lain. Kalau di Paris ada menara Efiel, di China ada tembok raksasa, di Indonesia ada Monas. Begitulah Soekarno dengan segala sifat ambisiusnya. Secara beruntun, kemudian lahir perusahaan vital lainnya seperti PT. AFF, PT.ARUN. PT. PIM, PT. KKA serta PT. Aromatic (Humpus Grup). Belum lagi, sumber daya alam seperti kayu dan bahan tambang. Intinya, konstribusi Aceh bagi dana pembangunan Indonesia, menjadi sisi lain dari sebuah perjalanan sejarah Indonesia. Dan, sebutan Aceh sebagai Daerah Modal Perjuangan serta Pembangunan, menjadi sahih adanya. Dari hasil minyak dan gas, Aceh tiap tahunnya menyetorkan Rp 10,6 triliun atau 43 persen dari total penerimaan negara untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh tahun 1997/1998, Rp 328 miliar. Tragisnya, tahun 1998-1999, malah turun jadi Rp 153 miliar. Kekayaan alam Aceh, yang menjadi pendapatan utama daerah tersebut adalah gas alam. Pusat pengolahan gas alam cair (LNG) yang bahan bakunya dieksploitasi dari daratan dan lepas pantai Aceh, diolah di Lhokseumawe, Aceh Utara. Produksi LNG menghasilkan devisa yang besar, setidaknya memberikan sumbangan sebesar 30% dari total ekspor gas dan minyak Indonesia. Penambangan dan pengolahan LNG dilakukan Exxon Mobil dan Pertamina. Menariknya, saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997-1999. Lagi-lagi, Aceh menunjukkan kesetiaannya kepada republik Indonesia. Saat itu, Aceh dipimpin Syamsuddin Mahmud, seorang pakar ekonomi dan mantan Rektor Unsyiah. Melalui putri Soeharto, Siti Indriati Indra Rukmana atau Mbak Tutut. Pak Syam, menyerahkan sekitar 20 kilogram emas serta puluhan lembaran dolar Amerika Serikat bernilai 100 $ per lembarnya kepada Mbak Tutut. Tujuannya, untuk menopang perekonomian negeri ini yang waktu itu sudah terpuruk akibat dihantam krisis moneter atau krismon. Pada awal masa kemerdekaan, untuk menopang pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, para saudagar Aceh juga memeiliki peran vital. Mereka menerobos blokade ankatan laut Belanda untuk menyeludupkan barang datgangan hingga ke Semenanjung Malaysia. Ketika kontak dengan Jakarta tersedat, Residen Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Tapi hak para saudagar Aceh itu pun kemudian diabaikan. Ironisnya, meski Soekarno menyangjung habis Aceh sebagai daerah modal, karena telah mendanai republik, para sudagar Aceh itu kemudian harus berjuang ke pengadilan untuk menuntut haknya. Hutang mereka ditolak pembayarannya oleh pemerintah. Sebuah kisah perjudian nasib dilakoni para saudagar Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan komoditas lainnya ke Malaysia dan singapura, para eksportir asal Aceh mesti bertarung di lautan dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka. Penjualan barang ke Malaysia dan Singapura untuk mendanai republik tersebut, lebih tepatnya disebut sebagai penyeludupan. Setiap saat kapal yang membawa barang ke negeri jiran itu, harus mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli di Selat Malaka. Salah satu yang sangat fenomenal adalah usaha penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie, warga Indonesia keturunan Cina asal Menado ini mendapat perintah dari Menteri Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual kareta asal Aceh ke Semenanjung Malaysia. Hasil penjualan karet milik saudagar Aceh itu digunakan untuk membiayai perjalanan keliling dunia Menteri Luar Negeri RI, H Agus Salim.